Jumat, 28 November 2008

Perbandingan Common Law System,


1. Berdasarkan sejarah dan sumber lahirnya

Civil Law: “Civil Law” merupakan sistem hukum yang tertua dan paling berpengaruh di dunia. Sistem hukum ini berasal dari tradisi Roman-Germania. Sekitar abad 450 SM, Kerajaan Romawi membuat kumpulan peraturan tertulis mereka yang pertama yang disebut sebagai “Twelve Tables of Rome”. Sistem hukum Romawi ini menyebar ke berbagai belahan dunia bersama dengan meluasnya Kerajaan Romawi. Sistem hukum ini kemudian dikodifikasikan oleh Kaisar Yustinus di abad ke 6. The Corpus Juris Civilis diselesaikan pada tahun 534 M. Ketika Eropa mulai mempunyai pemerintahan sendiri, hukum Romawi digunakan sebagai dasar dari hukum nasional masing-masing negara. Napoleon Bonaparte di Prancis dengan Code Napoleonnya di tahun 1804 dan Jerman dengan Civil Codenya di tahun 1896.

Common law: berdasarkan tradisi, costum dan berkembang dari preseden yang dipergunakan oleh hakim untuk menyelesaikan masalah.

Islamic Law: merupakan hukum ynag diciptakan oleh Tuhan.

2. Berdasarkan sumbernya

Common Law: Berdasar pada putusan-putusan hakim/ pengadilan (judicial decisions). Melalui putusan-putusan hakim yang mewujudkan kepastian hukum, walaupun tetap mengakui peraturan yang dibuat oleh legislative.

Civil Law, Berbasis pada hukum tertulis (written law) dan Menuangkan semaksimal mungkin norma ke dalam aturan hukum. Yang menjadi sumber hukum adalah undang-undang yang dibentuk oleh pemegang kekuasaan legislatif dan kebiasaan yang hidup dimasyarakat sepanjang tidak ertentangan dengan peraturan yang ada.

Islamic Law: sumber utamanya adalah Al Qur’an yaitu wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada RasulNya, Nabi Muhammad SAW. As Sunnah yaitu segala perkataan, perbuatan, dan sikap Rasulullah SAW yang dicatat dan terekam (Al Hadist), Ijtihad, Ijma, Qiyas, Istisqa, Maslahah Al Mursal, Urf.

3. Prinsip Umum

Civil Law: adalah hukum yang memperoleh kekuatan mengikat, karena sumber-sumber hukumnya diwujudkan dalam peraturan- peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu. Prinsip utama ini dianut mengingat nilai utama yang merupakan tujuan hukum adalah kepastian hukum. Sehingga berdasarkan sistem hukum yang dianut tersebut, hakim tidak dapat leluasa untuk menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum. Hakim hanya berfungsi menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan dalam batas-batas wewenangnya. Putusan seorang hakim dalam suatu perkara hanya mengikat para pihak yang berperkara saja ( pola pikir deduktif). Memberikan prioritas yang lebih pada doktrin dan mengadopsi teori Montesquieru tentang pemisahan kekuasaan dimana fungsi legislator adalah melakukan legislasi, sedangkan pengadilan berfunfsi menerapkan hukum. Yurisprudensi dalam civil law hanya menerapkan prinsip-prinsip umum, sementara penjelasannya melalui sumber-sumber hukum sekunder.

Common Law: sumber-sumber hukumnya tidak tersusun secara sistematik dalam hirarki tertentu seperti pada sistem hukum Eropa Kontinental. Dalam sistem hukum Anglo Saxon adanya ‘peranan’ yang diberikan kepada seorang hakim yang berfungsi tidak hanya sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja, melainkan peranannya sangat besar yaitu membentuk seluruh tata kehidupan masyarakat. Hakim mempunyai wewenang yang sangat luas untuk menafsirkan perauran hukum yang berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain untuk memutuskan perkara yang sejenis (pola pikir induktif). Dalam sisitem ini, diberikan prioritas yang besar pada yurisprudensi dan menganut prinsip judge made precedent sebagai hal utama dari hukum.

Islamic Law: menganut suatu keyakinan dari ajaran agama Islam dengan keyakinan lahir batin secara individual. Bagi negara-negara yang menganut asas hukum Islam dalam bernegara melaksalanakan peraturan-peraturan hukumnya secara taat sesuai yang dianggap adil berdasarkan peraturan perundangan negara yang dibuat dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.

4. Berdasarkan penggolongannya

Civil Law: dibagi dalam bidang hukum publik dan bidang hukum privat. Hukum publik mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur kekuasaan dan wewenang penguasa/ negara serta hubungan-hubungan antara masyarakatan negara. Yang termasuk dalam hukum publik meliputi hukum tata negara, hukum administrasi negara dan hukum pidana. Sedangkan hukum privat mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang hubungan antara individu-individu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Yang termasuk dlam hukum privat adalah hukum perdata yang meliputi juga hukum sipil dan hukum dagang.

Common law mengenal pula pembagian hukum publik dan hukum privat. Pengertian yang diberikan kepada hukum publik hampir sama dengan pengertian yang diberikan oleh sistem huku Eropa Kontinental. Sedangkan hukum privat lebih dimaksudkan sebagai kaidah-kaidah hukum tentang hak milik (law of property), hukum tentang orang (Law of person), hukum perjanjian (law of contract) dan hukum tentang perbuatan melawan hukum (law of torts) yang tersebar di dalam peraturan- peraturan tertulis, putusan- putusan hakim dan hukum kebiasaan.

Dalam Islamic Law, hukum Islam sengaja diturunkan oleh Allah SWT melalui Nabi Muhammad dengan maksud menyusun ketertiban dan keamanan serta keselamatan umat manusia. Karena itu dasar - dasar hukumnya mengatur mengenai segi-segi pembangunan, politik, sosial ekonomi, dan budaya disamping hukum-hukum pokok tentang kepercayaan dan kebaktian atau ibadat kepada Allah. Karena itu berdasarkan sumber-sumber hukumnya, sistem hukum Islam dalam ‘Hukum Fikh’ terdiri dari dua hukum pokok yaitu :

- Hukum Rohaniah, lazim disebut Ibadat, yaitu cara- cara menjalankan upacara tentang kebaktian atau beribadah kepada Allah seperti sholat, puasa, zakat, dan menunaikan haji.

- Hukum Duniawi (Muamalat, Nikah dan Jinayat)

5. Berdasarkan Wilayah Keberlakuannya

Civil Law:

Sistem ini berlaku dibanyak negara Eropa dan jajahannya seperti Angola, Argentina, Arménia, Austria, Belgium, Bosnia and Herzegovina, Brazil, Jerman, Yunani, Haiti, Honduras, Italia, Belanda dan lain-lain.

Dengan persentase 23,43% penduduk dunia yang menganutnya atau sekitar 1.5 Milyar penduduk dunia.

Common Law:

Sistem ini belaku di Inggris dan sebagian besar negara jajahannya, negara-negara persemakmuran antara lain Bahama, Barbados, Kanada, Dominica, Kep. Fiji, Gibraltar, Jamaika, Selandia Baru, TOGO, Amerika Serikat, dan lain-lain. Dengan persentase sekitar 6,5% penduduk dunia atau sekitar 350 juta jiwa.

Islamic Law

Berlaku dinegara-negara seperti Arab Saudi, Iran, Sudan, Afganistan, Syria, Jordania, Yaman, Libya dan lain-lain. Dengan jumlah penduduk sekitar 28 juta jiwa.

Rabu, 19 November 2008

POLITIK PEMBENTUKAN HUKUM (MENUJU HUKUM yang DEMOKRATIS)

Oleh: Muhith Nur[1]

Abstrak

Terlepas dari perbedaan pandangan para ahli tentang yang manakah yang lebih dominan pengaruhnya antara hukum dan politik, namun yang jelas adalah bahwa keduanya merupakan subsistem dari sistem sosial (kemasyarakatan). Secara umum, arah dan tujuan dari politik pembentukan hukum telah terekam dalam UUD 1945 dan telah dirumuskan dengan jelas oleh para pendiri bangsa, mulai dari pembukaan sampai pada batang tubuh. Sepanjang sejarah Indonesia ternyata selalu menampilkan tarik ulur dan dinamika antara politik yang demokratis dan politik otoriter. Demokrasi dan otoritarianisme senantiasa muncul secara bergantian. Sejalan dengan tarik menarik konfigurasi politik itu, perkembangan karakter produk hukum memperlihatkan keterpengaruhannya antara karakter hukum yang responsif.

A. Pendahuluan:

Saksi ahli dalam sidang di MK menekankan, konstitusi melindungi pemodal dalam negeri sementara pemerintah membiarkan investor asing masuk dalam beragam usaha, menyitir pidato Hatta, pemerintah menyatakan Indonesia anti kapitalisme tapi tidak anti kapital.

Inilah yang menjadi bahan pertanyaan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan dalam sidang pengujian Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UUPM) terhadap Pasal 27 dan 33 UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi (MK) di gedung MK, Selasa (6/11). UUPM diuji hanya selang beberapa bulan setelah disahkan Presiden. Pasalnya, UU ini dinilai para pemohon terlalu memberi privelege kepada investor asing ketimbang melindungi masyarakat kecil.

Salah satu Ahli yang diajukan pemohon uji materi itu adalah akademisi asal Universitas Gadjah Mada Revrisond Baswir. Dari sejumlah kebijakan ekonomi Indonesia, ia menarik kesimpulan paradigma warisan kolonial masih membayang-bayangi para pengambil kebijakan hingga kini. Menurutnya, kebijakan ekonomi dalam UUPM tidak sejalan dengan landasan ideologis dan latar belakang historis pembentukan Pasal 33 UUD 1945.

Uji materil UUPM oleh Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi menarik ketika ditinjau dari segi politik hukum nasional kita sebagai negara yang merdeka.. UUPM bahkan telah menjadi kontroversi bahkan ketika masih dalam wujud RUU. Kalangan LSM menduga RUU/UU ini sarat dengan tarik menarik kepentingan antara masyarakat, pemerintah (negara), dan para kapitalis asing yang berujung pada dugaan politik uang untuk mempercepat disetujuinya UU yang sangat memihak pada pemodal asing ini. Kuatnya pengaruh politik hukum, ekonomi, intervensi asing (melalui korporat maupun negara) membuat kita bertanya kembali. Kemanakah arah politik hukum nasional yang kita cita-citakan?.

Terlepas dari perbedaan pandangan para ahli tentang yang manakah yang lebih dominan pengaruhnya antara hukum dan politik, namun yang jelas adalah bahwa keduanya merupakan subsistem dari sistem sosial (kemasyarakatan). Penulis berusaha untuk memaparkan gambaran umum tentang politik hukum kaitannya dengan pembentukan hukum menurut pandangan beberapa ahli.

Defenisi atau pengertian politik hukum yang berfariasi, asal katanya merupakan terjemahan dari bahasa Belanda rechtpolitiek.[2] Recht-mengutip Sri Soemantri Martosoewignjo- hukum adalah seperangkat aturan tingkah laku yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan dalam kamus bahasa Belanda, politiek[3] mengandung arti beleid, yang dalam bahasa Indonesia berarti kebijaksanaan (policy). Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa politik hukum adalah berarti kebijakan hukum. Dengan kata lain politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak dalam bidang hukum. Kebijakan (wisdom) dalam bahasa Indonesia penggunaannya sering hampir dipersamakan dengan kebijaksanaan (policy).menurut Girindo Pringgodigdo[4] kebijaksanaan adalah serangkaian tindakan atau kegiatan yang direncanakan dibidang hukum untuk mencapai tujuan yang direncanakan. Orientasinya ada pada pembentukan dan penegakan hukum masa kini dan masa depan. Sementara kebijakan sendiri adalah tindakan atau kegiatan seketika (instant decision) melihat urgensi serta situasi/kondisi yang dihadapi berupa pengambilan keputusan dibidang hukum yang dapat berupa pengaturan (tertulis) atau keputusan tertulis/lisan. Jadi secara epistimologis, politik hukum secara singkat berarti kebijaksanaan hukum.

Secara terminologis, politik hukum menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara[5] adalah legal policy yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh negara tertentu.

Politik hukum nasional ini bisa meliputi:

  1. pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten;
  2. pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.
  3. penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum;
  4. meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi pengambil kebijakan.

Dari poin nomor 2 diataslah tulisan ini akan penulis kembangkan yaitu tentang politik pembentukan hukum. Pembentukan hukum dalam suatu sistem hukum sangat dipengaruhi oleh konsep hukum yang dianut oleh suatu masyarakat hukum, juga oleh kualitas pembentuknya. Dalam pembentukannya, dapat berlangsung secara sederhana (dalam masyarakat sederhana) sebagai proses penerimaan kebiasaan-kebiasaan hukum atau proses pembentukan/ pengukuhan kebiasaan hukum secara langsung dalam masyarakat itu.[6] Dalam kehidupan sosial yang lebih luas (negara) yang menganut sistem eropa kontinental, atau tradisi hukum sipil, pembentukannya dilakukan oleh lembaga legislatif. Sedangkan dalam masyarakat negara yang menganut sistem hukum kebiasaan (common law), kewenangannya terpusat pada hakim (judges made law).

Disamping kedua tradisi besar tadi, ada juga negara yang mengkombinasikan kedua tradisi itu dalam pembentukan hukum nasionalnya. Pengkombinasian ini cenderung dilakukan oleh negara dunia ketiga dan juga dinegara yang pada awalnya sangat erat memegang kedua tradisi besar tersebut seperti AS, Inggris dan negara-negara Eropa. Dalam formula baru ini, pembentukan hukum dapat saja dilakukan oleh hakim, badan legislatif atau lembaga lain yang diberi wewenang untuk itu. Formulasi ini bukannya tanpa resiko yang disebabkan oleh kuantitas yang menjadi sangat kompleks, overlapping substansi ataupun perselisihan pandangan tentang gejala hukum yang timbul.

Tema ini politik pembentukan hukum ini berdasar pada kenyataan bahwa hukum (undang-undang) merupakan produk politik sehingga dalam pembentukannya tidak terlepas dari tarik-menarik kepentingan kekuasaan (politik). Walaupun harus kita sadari pula bahwa hukumlah yang mengatur bagaimana politik bermain dalam ranah kekuasaan. Hal ini terjadi karena hukum sebagai kaidah atau norma-norma sosial tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam msyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan konkretisasi dari nilai yang suatu saat berlaku dalam kehidupan masyarakat.

B. Politik Pembentukan Hukum Nasional

Secara umum, arah dan tujuan dari politik pembentukan hukum telah terekam dalam UUD 1945 dan telah dirumuskan dengan jelas oleh para pendiri bangsa, mulai dari pembukaan sampai pada batang tubuh. Dalam konstitusi jelas pula disebutkan tentang badan yang berwenang dalam hal pembentukan hukum yaitu DPR dengan fungsi legislasinya, Pemerintah (Presiden), dan DPD dalam masalah-masalah ‘daerah’.

Program Legislasi Nasional (Prolegnas)[7]

Sejak tahun 2000, pemerintah dan DPR telah menuangkan indikator program mereka dalam apa yang disebut dengan Program Pembangunan Nasional (Undang-undang No. 25 Tahun 2000).

Meskipun masih ada kekurangan-seperti belum diaturnya mekanisme secara rinci mengenai penundaan dan penyegeraan pembahasan sebuah RUU-sesungguhnya pembuatan rencana tersebut sudah merupakan langkah awal yang akan baik implikasinya dalam memperbaiki proses legislasi nasional. Hanya saja kemudian yang terjadi adalah Propenas, Prolegnas dan kemudian Repeta, yang seharusnya menjadi panduan bagi penyusun kebijakan dalam menentukan RUU apa yang harus segera dibahas dalam satu masa sidang, seringkali tidak dipedulikan. Dewan kembali menerapkan mekanisme yang tidak jelas dalam menentukan prioritas pembahasan.

Kebutuhan yang Mendesak

Parahnya kondisi legislasi yang ada saat ini menyebabkan pembentukan sistem yang jelas menjadi kebutuhan yang mendesak, ditunda, dibahas, kemudian dibiarkan dalam waktu yang tidak jelas menjadi keadaan yang sangat sering dtemui dalam perjalanan sebuah RUU. Kepastian seolah-olah menjadi barang mahal jika berbicara mengenai proses legislasi di Indonesia

Prolegnas merupakan bagian kecil dari Program Pembangunan nasional (Propenas) yang merupakan arah kebijakan pembangunan pemerintah secara menyeluruh yang berkait satu dengan lainnya. Ini berarti pada saat Prolegnas tidak berhasil karena diabaikan oleh para pembuat kebijakan, tentu saja akan menghambat pembangunan di bidang yang lain atau bahkan menggagalkannya sama sekali.

Sistem yang jelas akan membawa kejelasan bagi anggota DPR dalam bekerja. Kejelasan sistem juga akan meminimalkan penyelewengan yang terjadi. Hal ini kemudian menjadi penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya DPR bekerja. Jika tidak ada mekanisme yang jelas tentunya akan sulit untuk menentukan standar keberhasilan dalam menyelesaikan pekerjaan yang diamanatkan. Entah kapan mekanisme prioritas akan ada karena sampai saat ini anggota DPR sepertinya tak merasa membutuhkan.[8]

Proses Pembuatan Peraturan Perundang-undangan

Proses pembuatan undang-undang adalah rentetan kejadian yang bermula dari perencanaan, pengusulan, pembahasan, dan pengesahan. Semua proses tersebut dilakukan oleh para aktor, yang dalam sistem demokrasi modern disebut eksekutif (Presiden beserta jajaran kementriannya) dan legislatif (DPR).

Perencanaan

Prolegnas sendiri disusun melalui koordinasi antara DPR yang diwakili Badan Legislasi dan pemerintah yang diwakili oleh Bappenas. Kemudian proses pembahasannya sama dengan proses pembahasan undang-undang, hanya saja melibatkan seluruh perwakilan komisi yang ada di DPR.

Penyusunan Repeta dilakukan oleh pemerintah (yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM) dan Badan Legislasi setelah mendapatkan masukan dari fraksi dan komisi serta dari Sekretariat Jenderal. Ada beberapa kriteria yang digunakan untuk menyusun daftar RUU yang akan dimasukan dalam Repeta: Pertama adalah yang diperintahkan langsung oleh undang-undang, kedua yang ditetapkan oleh Ketetapan MPR, ketiga yang terkait dengan perekonomian nasional, dan yang keempat yang terkait dengan perlindungan terhadap ekonomi sosial. Untuk merespon atas kondisi sosial yang terjadi di masyarakat, ada batas toleransi 10-20 % untuk membahas RUU di luar yang ditetapkan dalam Repeta. Pengajuan suatu RUU oleh DPR ataupun pemerintah selanjutnya berpedoman pada Repeta yang bersangkutan.

Sebuah RUU dapat berasal dari DPR (usul inisiatif DPR) atau dari pemerintah. Di dalam DPR sendiri ada beberapa badan yang berhak mengajukan RUU, yaitu komisi, gabungan komisi, gabungan fraksi atau badan legislasi. Sebelum sampai pada usul inisiatif DPR, ada beberapa badan yang biasanya melakukan proses penyiapan suatu RUU.

Di samping itu ada beberapa badan lain yang secara fungsional memiliki kewenangan untuk mempersiapkan sebuah RUU yang akan menjadi usul inisiatif DPR. Badan-badan ini adalah Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi (PPPI) yang bertugas melakukan penelitian atas substansi RUU dan tim perancang sekretariat DPR yang menuangkan hasil penelitian tersebut menjadi sebuah rancangan undang-undang.

Dalam menjalankan fungsi sebagai penggodok RUU, baik Baleg maupun tim ahli dari fraksi memiliki mekanisme sendiri-sendiri. Baleg misalnya, di samping melakukan sendiri penelitian atas beberapa rancangan undang-undang, juga bekerjasama dengan berbagai universitas di beberapa daerah di Indonesia. Untuk satu RUU biasanya Baleg akan meminta tiga universitas untuk melakukan penelitian dan sosialisasi atas hasil penelitian tersebut.

Baleg juga banyak mendapatkan draft RUU dari masyarakat sipil, misalnya RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi dari ICEL (Indonesian Center for Enviromental Law), RUU tentang Kewarganegaraan dari GANDI (Gerakan Anti Diskriminasi) dan RUU Ketenagakerjaan dari Kopbumi. Bagi masyarakat sipil, pintu masuk suatu usulan mungkin lebih terlihat "netral" bila melalui Baleg ketimbang melalui fraksi, karena terkesan tidak terafiliasi dengan partai apapun.

Sementara itu, pada RUU usulan pemerintah, tata cara perumusannya diatur dalam Keppres 188 tahun 1998. Prosesnya dimulai dengan penyusunan konsep dan naskah akademis yang diikuti oleh permohonan prakarsa yang dilakukan oleh departemen teknis atau lembaga non departemen yang terkait. Setelah mendapatkan persetujuan dari presiden barulah dibentuk panitia perancang RUU. Ada model yang hampir sama dalam setiap pembentukan tim perancang undang-undang ini. Ketuanya adalah menteri dari departemen teknis terkait, kemudian tim intinya terdiri dari pejabat eselon I (setingkat dirjen), pejabat dari instansi lain yang akan terkait dengan substansi RUU, serta tokoh atau akademisi yang dianggap memiliki keahlian di bidang tersebut. Sedangkan tim asistensi biasanya melibatkan banyak masyarakat sipil seperti kalangan LSM. Tim perancang ini kemudian akan merumuskan sekaligus mengonsultasikan rancangan tersebut kepada publik.

DPR maupun pemerintah tidak mengkavling-kavling RUU mana saja yang akan diusulkan oleh pemerintah dan RUU mana yang akan diusulkan oleh DPR. Bisa saja sebuah RUU dikerjakan oleh berbagai pihak, misalnya saja kasus yang pernah terjadi pada paket undang-undang politik.

Setelah adanya pengusulan, rapat paripurna memutuskan apakah usul RUU tersebut secara prinsip dapat diterima menjadi RUU usul DPR atau tidak. Keputusan diambil setelah diberikan kesempatan kepada pengusul untuk memberikan penjelasan dan kepada fraksi untuk memberikan pendapatnya.

Keputusan dapat berupa :

a. persetujuan tanpa perubahan;

b. persetujuan dengan perubahan; atau

c. penolakan

Dari tiga kemungkinan keputusan penerimaan RUU usul DPR, keputusan pertama relatif dapat dimengerti. Namun demikian dapat ditambahkan penjelasan pada dua keputusan lain, sebagai berikut:

- RUU Disetujui dengan Perubahan

Apabila RUU disetujui dengan perubahan, DPR menugaskan kepada Komisi, Badan Legislasi, atau Panitia Khusus untuk membahas dan menyempurnakan RUU tersebut. Setelah disetujui menjadi RUU usul dari DPR, Pimpinan DPR menyampaikan kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Pemerintah dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama-sama dengan DPR.

- RUU ditolak

bagaimana jika RUU ditolak? Pada kenyataannya, apabila suatu RUU ditolak oleh DPR untuk menjadi usul inisiatif, tidak ada pengaturan apakah RUU tersebut dapat diajukan lagi pada masa persidangan tersebut.

Pembahasan dan Persetujuan

a. Pembahasan Tingkat Pertama

Pembicaraan Tingkat Pertama terjadi dalam arena rapat komisi, gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat panitia anggaran atau rapat panitia khusus bersama-sama dengan pemerintah.

Bamus juga menetapkan sendiri kriteria penentuan apakah suatu RUU dibahas oleh Komisi, Gabungan Komisi atau Pansus, antara lain berdasarkan pertimbangan:

1. Substansi dari undang-undang.

Apabila substansi undang-undang tersebut merupakan gabungan dari berbagai bidang-bidang yang ada di komisi maka dibentuk Pansus atau gabungan komisi. Sedangkan bila hanya mencakup satu bidang saja maka akan dibahas oleh komisi.

2. Beban kerja masing-masing komisi.

Apabila jadual suatu komisi terlalu padat maka dibentuklah pansus, akan tetapi bila terlalu banyak pansus dan orang habis dalam pansus-pansus maka dibahas di komisi.

Dalam pembahasan rancangan, Komisi dibantu oleh Sekretaris Komisi untuk merekam, mencatat dan mendokumentasi persidangan atau data, lain dan mengelola dokumentasi korespondensi (termasuk aspirasi masyarakat) yang berhubungan dengan Komisi tersebut. Permohonan untuk melakukan dengar pendapat dengan Komisi diajukan kepada sekretaris Komisi yang meneruskan kepada rapat pimpinan Komisi untuk mengagendakan rapat.

Selanjutanya, penting bagi kita untuk memahami proses pembicaraan tingkat pertama. Ada tiga kegiatan yang ada dalam proses ini, yakni:

1. Pemandangan umum masing-masing fraksi terhadap RUU yang berasal dari Pemerintah, atau tanggapan pemerintah terhadap RUU yang berasal dari DPR. Tatib tidak mewajibkan penyampaian dokumen pemandangan secara tertulis sebelum agenda rapat, tetapi biasanya dokumen tersebut dibagikan pada saat rapat.

2. Jawaban Pemerintah atas pemandangan umum Fraksi atau jawaban pimpinan Komisi, pimpinan Badan Legislasi, pimpinan Panitia Anggaran, atau pimpinan Panitia Khusus atas tanggapan Pemerintah. Tatib tidak mewajibkan penyampaian dokumen pemandangan secara tertulis sebelum agenda rapat seperti halnya di atas. Biasanya dokumen tersebut juga dibagikan pada saat rapat.

3. Pembahasan dan persetujuan bersama atas RUU oleh DPR dan Pemerintah dalam rapat kerja berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

b. Pembicaraan Tingkat Dua

Pembicaraan tingkat dua adalah pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna. Dalam rapat, Komisi, pimpinan Badan Legislasi, pimpinan Panitia Anggaran, atau pimpinan Panitia Khusus melaporkan hasil pembicaraan tingkat pertama; lazimnya laporan ini dituangkan secara tertulis dan dibacakan dalam rapat. Jika dipandang perlu (dan lazimnya dilakukan), masing-masing Fraksi melalui anggotanya dapat menyertai catatan sikap Fraksinya.

Tidak jelas apakah masing-masing anggota (bukan Fraksinya) dapat menyampaikan catatan sikap mereka, namun tetap ada peluang untuk menyampaikan catatan individual berisikan catatan penting, keberatan dan perbedaan pendapat yang lazim disebut [mijnderheadsnota]. Terakhir, Pemerintah dapat menyampaikan sambutan Persetujuan DPR dituangkan dalam surat keputusan DPR dan disampaikan oleh Pimpinan DPR pada Presiden untuk [disahkan menjadi Undang-undang] dengan tembusan pada Menteri terkait.[9]

C. Hukum yang Demokratis

Sepanjang sejarah Indonesia ternyata selalu menampilkan tarik ulur dan dinamika antara politik yang demokratis dan politik otoriter. Demokrasi dan otoritarianisme senantiasa muncul secara bergantian. Sejalan dengan tarik menarik konfigurasi politik itu, perkembangan karakter produk hukum memperlihatkan keterpengaruhannya antara karakter hukum yang responsif dengan hukum yang berkarakter konservatif.

Dalam konteks pembentukan hukum, yang penulis maknai sebagai hukum yang demokratis adalah hukum yang menurut Charles Stemford sebagai hukum modern yaitu hukum yang sesusai rasa keadilan masyarakat. Sementara D.F. Scheltens dalam bukunya ’men en mensenrechten’ menyebutkan hukum adalah sinkronisasi keinginan individu dan masyarakat (norma). Lebih spesifik lagi, Sudarto melihat hukum (pembentukan), sebagai perpaduan antara law as a tool of social engineering yaitu sebagai alat rekayasa sosial oleh negara dengan law as tool of social supporting (sebagai ekspresi kepentingan masyarakat). [10]

Dalam sebuah negara yang demokratis tentuny diharapkan muncul pula hukum yang demokratis. Dalam sebuah negara yang mengklaim dirinya demokratis tentunya memiliki ciri tertentu seperti:

  1. kemerdekaan berbicara dan mengeluarkan pendapat;
  2. penghargaan terhadap hak asasi manusia;
  3. pemilihan umum yang bersih dan jujur
  4. pers yang bebas dan bertanggungjawab.[11]

Ciri-ciri diatas tergambar dalam pasal 8 UU No. 10 Th 2004 yang mana menyebutkan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal berikut:

a. mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:

1. hak-hak asasi manusia;

2. hak dan kewajiban warga negara;

3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;

4. wilayah negara dan pembagian daerah;

5. kewarganegaraan dan kependudukan;

6. keuangan negara,

b. diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.

Disini terlihat adanya benang merah antara hukum dan demokrasi dimana penghargaan terhadap hak asasi manusia menjadi pijakan atau titk tolak diantara keduanya. Rencana aksi hak asasi manusia (RAN HAM) mensyaratkan adanya muatan hak asasi manusia atau paling tidak setiap peraturan yang dibuat mengandung pemuatan nilai-nilai hak asasi manusia didalamnya.

Dari proses pembuatan UU dapat diketahui apakah hukum (undang-undang) yang dihasilkan tersebut demokratis atau tidak.

Input (parlemen) Proses Out put (UU yang demokratis)

Input (infrastruktur/Pemerintah) Proses (black box) Out out (UU yang fasis/otoriter)[12]

Gambaran tentang proses pembuatan UU seperti gambar diatas akan tejadi bila parlemen dan pemerintah berada dalam posisi yang ”ideal”.

Dalam konteks Indonesia fenomena black box hampir selalu terlihat dalam proses pembuatan UU. Black box disini berarti bahwa dalam tahap proses pembuatan UU, prosesnya cenderung tertutup dan tidak jelas sehingga kontrol dan partisipasi[13] masyarakat menjadi minimal, yang menyebabkan pada akhirnya UU yang dihasilkan pun menjadi tidak demokratis. Di Indonesia hal seperti ini terjadi baik ketika RUU itu berasal baik dari pemerintah mupun DPR.

Partisipasi merupakan sistem yang berkembang dalam sistem politik modern. Penyediaan ruang publik atau adanya mekanisme untuk mewujudkan partisipasi adalah suatu tuntutan yang mutlak sebagai upaya demokratisasi sejak pertengahan abad ke-20. Tak ayal lagi, masyarakat sudah semakin sadar akan hak-hak politik. Pembuatan peraturan perundang-undangan, setidak-tidaknya di atas kertas, tidak lagi semata-mata menjadi wilayah dominasi birokrat dan parlemen.[14]

Partisipasi didasarkan pada pemikiran bahwa kedaulatan yang ada dalam suatu negara berada di tangan rakyat. Sehingga, implementasi kekuatan politik yang dimiliki oleh rakyat salah satunya dapat dilakukan melalui partisipasi. [15]

Partisipasi menjadi salah satu alat dalam menuangkan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat untuk diakomodasi dalam suatu peraturan. Tentu saja, proses akomodasi ini juga didasarkan pada tingkat kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Hal ini menjadi penting, karena mau tidak mau dan suka atau tidak suka, peraturan perundang-undangan menjadi alat yang otoritatif untuk mengatur kehidupan masyarakat.

Melalui partisipasi, peraturan perundang-undangan akan memiliki kelebihan dalam hal efektivitas keberlakuan di dalam masyarakat. Selain itu, partisipasi juga memberikan legitimasi atau dukungan politik dari masyarakat terhadap pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.

Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang fungsi legislasi, dituntut untuk membuka pintu yang seluas-luasnya dalam hal partisipasi, apabila disepakati bahwa reformasi politik di Indonesia merupakan tahapan untuk menuju demokratisasi. Karena anggota DPR merupakan perwujudan representasi politik rakyat yang harus peka kepada aspirasi publik yang telah memilihnya.

Adanya partisipasi aktif masyarakat diharapkan akan makin mempermudah dan memperjelas arah politik pembentukan hukum nasional yang dapat mengakomodir nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat yang berorientasi pada terwujudnya hukum yang demokratis, yang tenu saja didahului oleh hukum yang responsif. Sebagaimana yang dikatakan oleh Moh. Mahfud MD. Bahwa hukum responsif[16] merupakan produk hukum yang lahir dari strategi pembangunan hukum yang memberikan peranan besar dan mengundang partisipasi secara penuh kelompok-kelompok masyarakat sehingga isinya mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat pada umumnya.

Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku, terlalu menekankan pada aspek the legal system tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan yang harus ditangani, seperti dalam hal ini masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori hukum hendaknya tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak kebal terhadap pengaruh sosial.

Memahami kenyataan itu, Nonet & Selznick[17] kemudian mencoba memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam ilmu hukum dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan. Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual. Hukum sebaiknya juga memikirkan kenyatan-kenyatan empiris yang terjadi, misalnya sejauh mana dan dalam kondisi apa hubungan-hubungan tersebut terjadi. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin due process yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel. Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Seznick, menurut Prof. Satjipto Rahardjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jurisprudence disatu pihak dan sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom pada Nonet. Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final.
D. Penutup

Di tengah masyarakat yang berubah dengan cepat harus pula diikuti dengan perkembangan hukum yang mengikuti perubahan tersebut. Hukum sebagai sarana perubahan harus mampu mendesain perubahan tersebut agar tetap ada korelasi antara keinginan negara dengan rakyatnya, penguasa dengan yang dikuasai, sehingga setiap produk yang dihasilkan dari pembentukan hukum dalam pelaksanaannya bisa diimplementasikan sesuai dengan keinginan dan cita-cita bangsa.

Untuk menjamin agar sebuah produk hukum menjadi demokratis dan responsif maka harus digunakan sebuah sistem yang menjamin agar setiap produk hukum tersebut menjamin adanya partisipasi publik untuk ikut mengontrol bahkan ikut terlibat dalam proses pembentukan hukum tersebut. Pengetahuan tentang proses pembentukan peraturan perundang-undangan juga sangat penting artinya untuk menjamin semua proses sudah dilalui tannpa cacat prosedural dan mencegah kemungkinan substansi dari sebuah RUU melenceng dari keinginan bersama.

Politik pembentukan hukum nasional kedepan seharusnya lebih konsisten dengan tujuan yang telah digariskan oleh para founding fathers bangsa ini. Keberpihakan politik hukum nasional saat ini harus lebih ditekankan pada bagaimana mencapai cita-cita bangsa yang tertuang dalam UUD 1945. Politik pembentukan hukum yang demokratis dan responsif tentunya telah tumbuh dalam nilai-nilai luhur masyarakat kita, sehingga jangan lagi dinodai dengan kepentingan sesaat yang hanya menguntungkan segelintir orang dinegara tercinta ini.

DAFTAR BACAAN

Carol C. Gould, Demokrasi Ditinjau Kembali (terj.), Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1993

Imam Syaukani & Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, PT RajaGrafindo, Jakarta, 2006.

Lili Rasjidi & I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993.

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998.

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.

Philippe Nonet & Philip Selznick, Hukum Responsif (terj.), Penerbit Nusamedia, Bandung, 2007

Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993

Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum (Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya), ELSAM, Jakarta, 2002.

Makalah:

Bivitri Susanti, Menyoal Kompetisi Politik dalam Proses Legislasi di Indonesia, Makalah, Jakarta, Maret 2006

Reny Rawasita Pasaribu, Prioritas Legislasi: Masalah Lama yang Tak Kunjung Selesai, Makalah yang disajikan dalam Diskusi PSHK, Jakarta, Oktober 2003.

M. Nur Sholikin, Partisipasi: Sebuah Harga Mati, Makalah, Jakarta, Desember 2004

UUD 1945

UU NO. 10 Th. 2004



[1] Mahasiswa Program Pasca Sarjana UNHAS, konsentrasi Hukum Tata Negara

[2] Imam Syaukani & Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2006), hlm. 11.

[3] Istilah rechtpolitiek hendaknya tidak dirancukan dengan istilah politiekrecht atau hukum politik yang muncul belakangan yang dikemukakan oleh Hence van Maarseveen karena keduanya memiliki konotasi yang berbeda. Istilah politiekrecht dikemukakan untuk mengganti istilah hukum tata negara, melalui karyanya yangb berjudul “Politiekrecht, als Opvolger van het Staatrecht”

[4] Imam Syaukani & Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2006), hlm. 24-25.

[5] Ibid., hlm. 30-31, juga lihat dalam Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, 1998 hlm, 9.

[6] Lili Rasjidi & I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 112.

[7] Salah satu bagian dalam Propenas ini mengatur mengenai bidang hukum. Dari butir-butir propenas tersebut disusunlah apa yang disebut dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dalam Prolegnas setidaknya ada sekitar 200 buah undang undang yang rencananya akan diselesaikan dalam lima tahun. Kemudian dari Prolegnas sendiri akan dibuat turunannya yang merupakan rencana pemerintah yang sifatnya tahunan yang lebih dikenal dengan istilah Rencana Pembangunan Tahunan.

[8] Reny Rawasita Pasaribu, Prioritas Legislasi: Masalah Lama yang Tak Kunjung Selesai, Makalah yang disajikan dalam Diskusi PSHK, Jakarta, Oktober 2003.

[9] Diolah dari situs www.parlemen.net

[10] Disarikan dari mata kuliah sosiologi hukum dan politik hukum yang dibawakan oleh Aswanto & Guntur Hamzah

[11] Disarikan dari materi mata kuliah politik hukum yang dibawakan oleh Hamid Awaluddin

[12] Disarikan dari materi mata kuliah politik hukum yang dibawakan oleh Aswanto

[13] Partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat, baik secara individual maupun kelompok, secara aktif dalam penentuan kebijakan publik atau peraturan. Secara lebih luas dalam bidang politik, partisipasi termasuk keikutsertaan dalam memilih pemimpin negara.

[14] Didalam UU No. 10 Th, 2004 juga ditegaskan tentang partipasi masyarakat yaitu pada Pasal 53: Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.

[15] Samuel P. Huntington dan Joan M Nelson dalam bukunya yang berjudul "No Easy Choice; Political Participation in Developing Countries," mendefinisikan partisipasi sebagai "acitivity by private citizens designed to influence government decision-making."

[16] Pemikiran hukum responsif dari Nonet dan Selznick dilatarbelakangi adanya kekurangan-kekurangan yang ada dalam hukum otonom. Nonet dan Selznick menyebutnya hukum responsif, bukan terbuka atau adaptif, untuk menunjukkan suatu kapasitas beradaptasi yang bertanggung jawab, dan dengan demikian, adaptasi yang selektif dan tidak serampangan. Suatu institusi yang responsif mempertahankan secara kuat hal-hal yang esensial bagi integritasnya sembari tetap memperhatikan atau memperhitungkan keberadaan kekuatan-kekuatan baru di dalam lingkungannya. Untuk melakukan ini, hukum responsif memperkuat cara-cara di mana keterbukaan dan integritas dapat saling menopang walaupun terdapat benturan di antara keduanya.
Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum.
Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan.

[17] Philippe Nonet & Philip Selznick, Hukum Responsif , terj., Law and Transition: Toward Responsive Law, Harper & Row, 1978 (Bandung: Penerbit Nusamedia, 2007), hlm. 83-131.

Kamis, 13 November 2008

rancangan amandemen ke V, UUD 1945, bab tentang kekuasaan kehakiman

BAB IX

KEKUASAAN KEHAKIMAN

Naskah Asli

Rancangan Perubahan

Pasal 24

(1). Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. ***)

(2). Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. ***)

(3). Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.****)

Pasal 24A

(1). Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.***)

(2). Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman dibidang hukum.***

(3). Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. ***)

(4). Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung.***)

(5). Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.***)

Pasal 24A

(1). Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.*****)

(2). tetap

(3). tetap

(4). tetap

(5). tetap

Pasal 24B

(1). Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. ***)

(2). Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman dibidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.***)

(3). Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. ***)

(4). Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.***)

Pasal 24B

(1). Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. *****)

(2). Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. ***)

(3). Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi, yang diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim konstitusi oleh Presiden.*****)

(4). Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. ***)

(5). Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. ***)

(6). Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.***)

Pasal 24C

(1). Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. ***)

(2). Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UndangUndang Dasar. ***)

(3). Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. ***)

(4). Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. ***)

(5). Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. ***)

(6). Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.***)

Pasal 24C

(1). Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim konstitusi serta mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, hakim agung hakim konstitusi. *****)

(2). Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman dibidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.***)

(3). Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. ***)

(4). Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.***)

Pasal 25

Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.

***) : Perubahan Ketiga

*****) : Rancangan Perubahan Kelima

Catatan:

1. Wewenang Mahkamah Agung dalam hal pengujian Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-undang terhadap undang-undang, dihilangkan. Alasannya adalah agar Mahkamah Agung lebih terfokus pada penyelesaian masalah-masalah kasasi dan peninjauan kembali yang kasusnya

2. Wewenang pengujian Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-undang terhadap undang-undang tersebut diberikan kepada Mahkamah Konstitusi