Kamis, 13 November 2008

MPR setelah amandemen UUD 1945

Naskah UUD 1945 sebelum adanya perubahan menyebutkan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah sebagai penyelenggara kedaulatan rakyat (kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh). Menurut penjelasan UUD 1945 (sebelum perubahan), MPR merupakan penyelenggara negara yang tertinggi (dalam terminologi orde baru diistilahkan sebagai lembaga tertinggi negara). Majelis ini dianggap penjelmaan rakyat yang memegang kekedaulatan negara. Dalam kekuasaan Majelis Permusywaratan Rakyat ini seluruh aturan ketatanegaraan dirancang dan diawasi. Dalam menjalankan kekuasaan ini Majelis Permusyawaratan Rakyat bertindak seakan tidak pernah salah. Menurut Bagir Manan dalam buku “DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru”, kekuasaan yang tidak terbatas inilah yang telah digunakan untuk membuat berbagai ketetapan di luar kewenangan MPR di luar materi muatan dan tata cara yang ditentukan oleh UUD (Bagir Manan 2004:78).

MPR setelah amandemen merupakan pelembagaan fungsi khusus parlemen yang keanggotaannya bersumber ganda, yaitu utusan partai politik di DPR dan utusan daerah di DPD yang semuanya dipilih (amandemen konstitusi membersihkan anggota yang diangkat, yaitu utusan golongan, termasuk militer dan kepolisian). Merupakan representasi rakyat dan melaksanakan kedaulatan rakyat.

Meski terdiri atas anggota DPR dan DPD, ”MPR baru” bukan merupakan hubungan DPR-DPD, DPD-MPR, maupun DPR-MPR. UUD 1945 tidak mengatur kerja bersama MPR, DPR, dan DPD untuk menghasilkan produk hukum atau keputusan politik. Pelaksanaan fungsi parlemen-MPR merupakan persidangan khusus (special sessions) untuk tujuan tertentu (ad hoc), bukan fungsi rutin legislatif . MPR bersifat independen, berdiri sendiri, dan permanen.

Struktur parlemen di Indonesia saat ini dengan perubahan UUD 1945 yang disertai munculnya lembaga DPD menjadikan parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bicameral). Seperti yang dikemukakan Jimly Asshiddiqie “Konstitusi & Konstitusionalisme di Indonesia” (2005:186) bahwa, semula reformasi struktur parlemen Indonesia yang disarankan oleh banyak ahli hukum dan politiksupaya dikembangkan menurut system bicameral yang kuat (strong bicameralism) dalam arti kedua kamar dilengkapi dengan kewenangan yang sama-sama kuat dan saling mengimbangi satu sama lain. Namun justru perubahan ketiga UUD 1945 justru mengadosi sistem parlemen yang bersifat soft bicameralism, dimana DPD sama sekali tidak diberi kewenangan yang setara dengan DPR. Kewenangan DPD hanya bersifat tambahan dan terbatas pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah.

Dengan keanggotaan MPR yang terdiri dari anggota DPR dan DPD makin menghilangkan nafas bikameralisme di Indonesia yang mana dalam praktek negara yang menganut system bikameralisme maka yang menjadi unsur adalah badan (DPR/DPD), bukannya anggota. Sebagai contoh, Kongres di AS beranggotakan Senat dan House of Representatif. Sistem diatas sepertinya menegaskan bahwa MPR merupakan badan yang berdiri sendiri di luar DPR-DPD. (Bagir Manan; 2004:84). Oleh karena itu wajar apabila ada yang menerjemahkan sistem parlemen Indonesia saat ini adalah trikameralism.

Isu yang berkembang di seputar kedudukan MPR berkisar pada dua hal. Pertama adalah MPR sebagai lembaga yang hanya ada bila DPR dan DPD bersidang. Kedua, MPR yang merupakan lembaga permanen dengan pimpinan yang terpisah dari pimpinan DPR dan DPD. Mengingat Presiden dan Wakil Presiden sudah ditetapkan untuk dipilih secara langsung oleh rakyat, MPR tidak lagi menjalankan fungsi memilih Presiden dan Wakil Presiden. Konsekuensi selanjutnya adalah hilangnya fungsi MPR untuk menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN) atau yang sejenisnya karena apa yang menjadi haluan negara dan basis bagi pembangunan lima tahun adalah program kerja calon Presiden/Wakil Presiden terpilih. Oleh karena itu dua tugas utama MPR tersebut tidak lagi dimiliki oleh MPR sesuai dengan ketentuan UUD 1945 hasil amandemen.

Fungsi MPR yang tertinggal hanyalah tiga yakni:

1. mengubah dan menetapkan UUD,

MPR berfungsi sebagai majelis konstitusi karena berwenang mengubah dan menetapkan konstitusi.

2. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden,

MPR melantik, tepatnya menyaksikan pelantikan, presiden-wapres yang sudah dipilih langsung oleh rakyat, melantik wapres sebagai presiden saat presiden berhalangan tetap, atau menetapkan mendagri, menhan, dan menlu sebagai pelaksana kepresidenan saat presiden-wapres berhalangan tetap secara bersamaan. MPR berperan sebagai kelompok pemilih untuk mengisi lowongan jabatan kepresidenan karena presiden dan atau wapres berhalangan tetap.

3. memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya

MPR berperan sebagai kelompok pemilih untuk mengisi lowongan jabatan kepresidenan karena presiden dan atau wapres berhalangan tetap. MPR juga merupakan majelis pemakzulan presiden/wapres (seperti Kongres Amerika Serikat), dalam hal diusulkan oleh DPR. Usul DPR bermakna undangan bersidang kepada semua anggota MPR untuk memberhentikan presiden/wapres. Alasan pemakzulan telah mengubah fungsi MPR dalam pemerintahan parlementer menjadi MPR dalam sistem presidensial, yaitu jika presiden/wapres terbukti melanggar hukum, melakukan perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat jabatannya.

Jika diamati secara mendalam terkait dengan fungsi pertama dan ketiga bukanlah merupakan fungsi yang dilakukan secara rutin karena fungsi-fungsi tersebut akan sangat jarang dilakukan. sehingga hanyalah fungsi kedua saja yang merupakan tugas rutin sekali lima tahun. Fungsi melantik ini pun bersifat seremonial karena MPR harus melakukan upacara tersebut terhadap Presiden/Wakil Presiden pemenang dalam pemilihan Presiden. Karena seremonial, MPR tentu saja tidak bisa menghambat pelantikan tersebut sehingga persyaratan persidangan (seperti kuorum dan syarat jumlah suara untuk pengambilan keputusan) tidak bisa diberlakukan seperti sidang-sidang lainnya di dalam lembaga perwakilan.

Mengingat kecilnya peranan MPR, muncul pemikiran untuk tidak melembagakan MPR. Dengan demikian MPR hanyalah merupakan joint session (sidang gabungan) antara DPR dan DPD. Konsekuensinya adalah MPR tidak mempunyai pimpinan sendiri dan lembaga ini tidak ada bila tidak ada sidang gabungan tersebut. Struktur ketatanegaraan Republik Indonesia yang baru, MPR di samping tidak lagi mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi, juga tidak lagi bersifat permanen (Jimly, 2005:170). MPR pada hakikatnya tetap dapat disebut sebagai institusi atau lembaga, tetapi sifat tugasnya tidak lagi permanen dan sifat kegiatannya tidak lagi terus menerus atau rutin. Kegiatan MPR yang bersifat rutin hanya satu yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden setiap lima tahun sekali. Sedangkan kegiatan lainnya terkait dengan tugas dan kewenangan yang tidak terjadwal secara rutin. Jika MPR tidak lagi bersifat rutin atau permanen, menurut Jimly, sudah seyogyanya MPR tidak memerlukan alat-alat kelengkapan yang bersifat permanen. Misalnya, lanjutnya, MPR tidak memerlukan Badan Pekerja yang bersifat tetap, dan juga MPR tidak memerlukan perangkat Sekretariat Jenderal yang tetap. Demikian pula dengan organ Pimpinan MPR yang bersifat permanen juga tidak lagi diperlukan.

Kelihatannya pemikiran ini tidak mendapat suara yang cukup besar sehingga MPR ditetapkan oleh RUU Susduk yang baru sebagai lembaga permanen dengan pimpinan tersendiri. Semangat untuk tidak mau terlalu jauh dari MPR yang ada sebelum amandemen UUD 1945 merupakan salah satu alasan bagi ditetapkannya ketentuan seperti itu. Memang ada yang tidak rela bila MPR dikaburkan keberadaannya mengingat semenjak lama MPR adalah pemegang kedaulatan rakyat dan merupakan lembaga negara tertinggi.

Kesimpulan

Struktur ketatanegaraan Republik Indonesia yang baru, MPR di samping tidak lagi mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi, juga tidak lagi bersifat permanen. MPR pada hakikatnya tetap dapat disebut sebagai institusi atau lembaga, tetapi sifat tugasnya tidak lagi permanen dan sifat kegiatannya tidak lagi terus menerus atau rutin. Mengingat kecilnya peranan MPR, maka pemikiran untuk tidak melembagakan MPR, sehingga dengan demikian MPR hanyalah merupakan joint session (sidang gabungan) antara DPR dan DPD. Dengan sifat seperti itu maka pimpinan MPR dan strukturnya juga tidak bersifat permanen. Struktur yang tidak permanen ini juga berpengaruh pada beban anggaran yang tidak terlalu membebani APBN (penghematan).

Tidak ada komentar: